Tuesday 26 January 2010

Tetap Mantap Melangkah Meski Dalam Gelap

Tuhan mendengar doa Peni. Esoknya, dokter yang akan menanganinya terkejut mendapati bola matanya yang kemarin pecah, kembali utuh meski sudah tidak berfungsi. “Kok, bisa begini? Kemarin bola mata Ibu sudah pecah berantakan, kok, sekarang pulih?” kata si dokter dengan nada heran.

Peni pun jadi ingat, malam sebelum rencana pengangkatan bola­ matanya, ia mengalami hal “gaib”. “Saya merasa didatangi lima anak cantik dan ganteng dengan bunga melingkar di kepala. Wajah mereka mirip anak Bosnia. Mereka menari-nari di sekitar tempat tidur rumah saya. Sebenarnya saya ber­usaha membangunkan suami tapi dia tak terbangun. Mungkin kelelahan menunggui saya di rumah sakit.”

Rezeki dari Garmen
Setelah sembuh, Peni kembali mencoba berbagai usaha untuk­ mengisi waktunya. Mulai dari katering, pengiriman TKI, membantu sang adik yang sering kelebihan order pembuatan kaus untuk promosi, sampai menerima jahitan dari produsen pakaian anak ternama.

Belakangan, Peni yang tak bisa diam ini mencoba membuat busana muslim. Dengan keterbatasan peng­lihatan, ia membuat gambar pola secara kasar lalu dibawa ke tukang potong dan jahit. “Karena sebelumnya bisa melihat, meski sekarang buta, paling tidak saya bisa kasih gambaran, juga kombinasi warnanya,” urai Peni.

Pintu rezeki Peni terbuka lebar. Busana muslim karyanya yang diberi merek Shabrina, terjual laris. Peni pun harus rajin “melihat” tren pasar, dipandu anak nomor duanya, Firly Adyatma (12). Dengan cara meraba, Peni bisa tahu model busana, juga aksesori seperti kancing, payet, dan sebagainya.

Peni juga tak segan-segan me­rekrut seorang desainer dan mendatangkan penjahit sekaligus membeli mesin jahit dalam jumlah besar. “Meski ada desainer, koordinasi tetap dengan saya. Sebab, saya juga bisa memberi masukan,” papar Peni yang saat ini sudah menguasai alquran dengan huruf braille.

Kini Peni memiliki 92 karyawan dan produknya sudah tersebar ke seluruh Indonesia, bahkan luar negeri. Belum lama ini, untuk memperluas usaha, Peni meluncurkan pakaian anak-anak dengan merek Alisha.

Suami Istimewa
Ketangguhan Peni menjalani hidupnya yang tak senikmat orang

lain, membuatnya kerap diminta berbagi pengalaman. “Mereka yang mulanya bisa melihat lalu mendadak buta, biasanya mengalami stres berat. Kalau yang memberi masukan orang ‘normal’, hasilnya akan beda ketimbang saya yang punya nasib sama dengan mereka. Sharing-nya jadi lebih pas.”

Peni juga mengajar di SMP khusus anak tunanetra di Surabaya. “Sebelumnya, saya harus kuliah dulu selama setahun untuk memperoleh ser­tifikat mengajar. Waktu kuliah di Universitas Negeri Surabaya itu, saya masuk sepuluh besar di antara ratusan mahasiswa yang bermata normal, lo.”

Kegiatan mengajar, tuturnya, ter­paksa dihentikan karena usaha garmennya memerlukan perhatian penuh. Bahkan Chamim Chudori, suami Peni, memilih mundur dari­ kantornya demi membantu mengelola usaha garmen mereka. Sang suami, kata Peni, selalu mendukungnya. “Padahal, saya dulu khawatir, apa dia tidak malu punya istri buta? Saya benar-benar beruntung mendapat suami seperti dia,” ungkap anak kedua dari tiga bersaudara keluarga Kol (Purn) Subiyakto (75) ini.

Dengan langkah mantap dan tegap, Peni terus menjalani hari-harinya kendati dalam kegelapan. “Justru dengan kekurangan ini, saya semakin meyakini betapa besarnya kekuasaan Tuhan. Bayang­kan saja, hanya dengan kekuatan pikiran, kadang saya bisa tahu seperti apa postur tubuh lawan bicara saya. Teman-teman yang sudah buta sejak lahir, biasanya juga memiliki kemampuan itu,” kata Peni yang rajin melakukan salat tahajud dan berzikir di sela-sela kesibukannya.

Berulang kali pula ia bertutur, tak pernah berhenti mensyukuri segala yang dialaminya. “Percayalah, seberat apa pun cobaan dari Tuhan, kalau kita ikhlas menerimanya, tidak akan terasa berat, kok,” katanya dengan bijak.
Gandhi Wasono M tabloid nova

Related Posts by Categories



Widget by Scrapur

0 Comments: